Mengenai Saya

Selasa, 15 Februari 2011

Mengenang KH. Ahmad Asrori Ustman Al-Ishaqy Sang Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyyah


Mengenang KH. Ahmad Asrori Ustman Al-Ishaqy Sang Mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyyah
Published on August 30, 2009 in Artikel Islam.

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.

Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.

Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.

Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.

Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.

Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.

Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.

Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.

Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.

Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.

Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.

Telah meninggal dunia pada hari ini 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, Kedinding Surabaya

Beliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah & Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua dosanya

Untuk melihat detail foto-foto Kyai Asrori klik disini.

Sumber Kembalikan NU ke khittah 1926

WAJIBKAH BERTORIQOT?



WAJIBKAH BERTORIQOT?

APA ITU THORIQOH
Thoriqot adalah suatu sistem untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan keadaan seseorang dapat bermusyahadah dengan matahatinya .
Jika kita ingin ke Al Fitroh kedinding, kita benar-benar tidak tahu dimana Al Fitroh kedinding itu berada, naik bus atau sepeda kesana.
Jika kita memaksa juga tanpa pemandu ingin ke Al Fitroh kedinding pasti nyasar, juga tanpa kedaraan yang memadai dan tepat apakah kita dapat sampai kesana ? kadang2 kita tertipu dan ditipu(udah nyasar kesasar lagi)
Yang bagus adalah kita dipandu, diantarkan oleh pemandu yang sudah tahu Al Fitroh kedinding dan tahu jalan menuju Al Fitroh kedinding apalagi ditambah dengan kendaraan yang bagus dan tepat yang terpenting adalah mbonceng.
Dan seterusnya akhirnya kita bisa bolak balik ke Al Fitroh kedinding dengan lancar, karena sudah tahu Al Fitroh kedinding, kita bisa menjelajah Al Fitroh kedinding dan tahu banget Al Fitroh kedinding. Sehingga kelak jika ingin ke dan tinggal di Al Fitroh kedinding kita sudah bisa dan biasa.kadang bias mampir ke sunan ampel,maulana malik ibrahim,sunan giri dan lainnya.Begitulah perumpamaan yang diberikan yai

Di dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 407 thoriqot itu adalah mengamalkan syari’at dan mengambil sesuatu yang paling penting, menjauhi sesuatu yang mudah atau ringan dari sesuatu tidak pantas disepelekan. Juga menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan dan melaksanakan yang fardlu serta sunat-sunatnya sesuai kemampuannya yang dibimbing oleh seorang yang telah ma’rifat kepada Allah (guru mursyid).
Menurut para Alim Ulama ahli ma’rifat Thoriqot terbagi dua : 1) Thoriqot Suluk yaitu membersihkan nafsu dari segala kotoran dengan cara (thoriqot) riyadloh, puasa, tidak tidur (melek), uzlah, zuhud dengan bimbingan mursyid agar bisa mencapai setingkat demi setingkat kepada maqom (kedudukan) yang sempurna.
Bahkan menurut Imam Al Ghazali : “Barang siapa yang telah bertafaqur dalam masalah agama (memahami, mempelajari, mengamalkan agar mendapat ridlo Allah itu juga disebut thoriqot suluk). 2) Thoriqot Tabaruk yaitu murid mengambil dzikir dari guru mursyid agar hatinya tidak lupa kepada Allah, supaya diampuni dosa, jauh dari macam-macam lalai, selamat dari hal-hal yang dibenci syara, selamat dari perbuatan hina dan siksaan Allah sehingga sampai kepada tujuan yaitu hati bersih dan kembali menghadap Allah. Contoh Thoriqot Tabaruk ini seperti yang diamalkan di Pondok Pesantren Alfithrah yang dipimpin oleh Guru
Mursyid yang mulia Asy-Syekh Ahmad Asrori al Iqhaqi ra

Thoriqot, bukanlah aliran kepercayaan atau aliran kebatinan, tetapi thoriqot adalah bagian dari ajaran Agama Islam yang terpenting.
Sebagaimana sabda Rasullulah SAW :
“Asysyari’atu aqwaalii athoriiqotu af’aalii alhaqiiqotu ahwaalii alma’rifatu ro’sul maalii” (HR. Anas bin Malik). Artinya : “Syari’at itu ucapanku, thoriqot itu perbuatanku,hakikat itu keadaanku dan ma’rifat itu puncak kekayaan (batin)”. (HR. Anas bin Malik).
Dari semua Thoriqot itu ada yang benar dan salah. Thoriqot yang benar disebut Thoriqot Mu’tabaroh yaitu Thoriqot yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits dan sanadnya atau silsilahnya sampai kepada Rasullulah, sedangkan Thoriqot yang salah disebut Thoriqot Ghoyr Mu’tabaroh yaitu Thoriqot yang tidak saesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits dan sanadnya atau silsilahnya tidak sampai kepada Rasullulah.

“Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, akan Kami berikan (istidroj) (Kemanjaan yang berangsur-angsur akan menarik ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui - Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh”.QS.al-A’raaf/182-183.
Kalau demikian maka timbul pertanyaan: “Apakah melaksanakan thoriqoh—di dalam agama Islam—bagi umat Islam, merupakan suatu keharusan atau kebutuhan ?”. Jawabannya :
1. Bagi orang yang sudah mengenal thoriqoh tetapi belum dapat merasakan hasilnya maka pelaksanaan thoriqoh itu merupakan suatu keharusan.
2. Bagi orang yang sudah menyadari akan keharusan untuk berthoriqoh, karena mereka sudah dapat merasakan hasilnya maka pelaksanaan thoriqoh itu adalah kebutuhan.
3. Bagi yang belum kenal sama sekali tentang ilmu thoriqoh, maka mereka wajib mengenalinya sebagai bentuk kewajiban bagi setiap pribadi muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Adapun yang dimaksud Thoriqoh, itu bias berarti hanya sekedar pengamalan ilmu dan iman, seperti melaksanakan sholat dhuha supaya rizkinya menjadi lapang atau membaca surat Waqi’ah yang diyakini dapat mendatangkan rizki umpamanya, dan bisa juga berarti melaksanakan thoriqoh secara
kelompok (jama’ah), seperti thoriqoh Qodiriyah wan Naqsyabandiyah atau kelompok thoriqoh yang
lainnya.
Orang mengerti dan percaya(iman) bahwa sholat dhuha dapat melapangkan rizki, kemudian mereka menjalankanya dengan dawam (istiqomah), dengan harapan (tujuan) supaya rizkinya mendapatkan
kelapangan dari Allah Ta’ala, maka pelaksanaan amal tersebut namanya thoriqoh (jalan). Yang demikian itu, supaya amal tersebut dapat menghasilkan kemanfaatan yang optimal sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, bagi orang yang sudah membutuhkan “hasil yang
diharapkan” dari pelaksanaan sholat dhuha tersebut, maka pelaksanaan sholat dhuha itu menjadi keharusan baginya. Sebab, tanpa pelaksanaan amal tersebut, tidak mungkin seseorang mendapatkan apa-apa yang diharapkan dari Allah Ta’ala.
Demikian pula orang yang melaksanakan thoriqoh secara berkelompok. Ketika mereka membutuhkan dari hasil thoriqoh yang dijalani tersebut, yakni cemerlangnya matahati supaya dapat
bermusyahadah kepada Allah Ta’ala, supaya dapat berma’rifat dan mencintaiNya, maka pelaksanaan thoriqoh baginya adalah keharusan. Mereka harus melaksanakan thoriqoh itu supaya apa-apa yang dicita-citakan dapat terwujud.
Adapun orang yang sadar akan keharusannya untuk melaksanakan thoriqoh. Karena mereka mengetahui bahwa satu-satunya jalan untuk meningkatkan syari’at yang dimiliki supaya dapat mencapai hakikat yang diharapkan—menghasilkan keyakinan dari apa-apa yang sudah diimani dalam hatinya—hanyalah dengan jalan berthoriqoh, maka berthoriqoh merupakan kebutuhan yang mutlak baginya. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang tidak mengerti tentang thoriqoh saja, mereka tidak mengerti bahwa untuk mencapai segala harapan hidupnya harus dengan jalan amal—seperti sebuah pepatah mengatakan, tidak kenal maka tidak sayang—kadang-kadang malah mereka menolak berthoriqoh. Mereka menolak sesuatu yang seharusnya penting untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri, ironisnya, mereka bahkan menganggap orang yang melaksanakan thoriqoh adalah kelompok yang berbuat bid’ah dan syirik. Akibatnya, orang yang demikian itu hidupnya selalu dalam keraguan. Sedikitpun mereka tidak mempunyai keyakinan, baik dalam bicaranya, amal perbuatannya dan juga prinsip-prinsip hidupnya.
Sebagian dari mereka bisanya hanya menyalahkan perilaku orang lain tanpa tahu bahwa jalan hidupnya sendiri sesungguhnya salah. Apakah orang dapat mencapai kepada yang diharapkan tanpa harus berusaha?, padahal semua orang memaklumi bahwa setiap usaha pasti ada jalannya, maka yang dimaksud “jalan usaha” itulah yang dinamakan thoriqoh. Rasulullah bersabda dalam satu haditsnya: “Syari’at itu adalah ucapanku, thoriqoh itu adalah perbuatanku dan hakikat itu adalah keadaan hatiku”.
Oleh karena itu, syari’at, thoriqoh dan hakikat seharusnya menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam hidup manusia. Ilmu syari’at adalah ibarat bibit tumbuhan, pelaksanaan thoriqoh
dan mujahadah ibarat menanam bibit-bibit dan menggarap tanah, sedangkan ilmu laduni atau ma’rifatullah adalah buah yang setiap saat dapat dipetik dari tanaman yang sudah tumbuh subur:
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) kelangit - pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”. QS.Ibrahim/24-25.
Walhasil, bagi orang yang mengenal dirinya sendiri, mengenal hak dan kewajibannya sebagai seorang hamba yang harus mengabdi kepada Tuhannya, mengenal kebutuhan hidupnya, mengenal tujuan hidup yang harus ditempuh dan dijalani, mengenal harus bagaimana dan untuk apa hidup dan mati ini diciptakan, mengenal tahapan-tahapan kehidupan yang sudah dan akan dijalani, maka pelaksanaan thoriqoh—baik sebagai pelaksanaan ilmu dan iman maupun secara kelompok—adalah kewajiban dan sekaligus kebutuhan hidup yang harus dijalankan bagi setiap individu orang yang beriman, baik untuk keberhasilan hidupnya di dunia maupun di akhirat. Orang yang demikian itu dinamakan orang yang “ma’rifatullah”, ma’rifat (mengenal) dirinyasendiri dan mengenal urusan Tuhannya.
Tujuan Thoriqot
Salah satu tujuan kita berthoriqoh, yaitu bagaimana kita mampu menyepuh karakter manusiawi kita yang kurang terpuji menjadi akhlakul karimah. Tanpa pencapaian tersebut berarti kita belum mampu menduduki maqom ‘kholifah Alloh di muka bumi’, berarti pula kita belum mendapatkan potensi untuk meneruskan pancaran do’a guru-guru mursyid kita kepada keluarga kita dan sesama ikhwan thoriqoh. Untuk tujuan inilah maka secara khusus seorang guru mursyid mengangkat imam-imam khususi. Jadi, kedudukan imam khususi itu ibarat talang untuk mengalirkan air (masyrob/minuman ruhaniah) yang dipancarkan guru mursyidnya untuk menyirami bibit yang sudah ditanamkan guru mursyid tersebut di dalam bumi ruhani murid-mirudnya. Secara khusus setiap khususi, air masyrob itu dialirkan oleh imam khususi kepada jamaah yang dipimpinnya. Demikian beratnya tugas seorang imam khususi, makanya imam khususi tersebut harus dipilih langsung oleh seorang guru mursyid. Karena hanya guru Mursyid yang tahu, apakah orang tersebut mempunyai kemampuan atau tidak.
Pencapaian karakter kholifah tersebut manakala sifat-sifat manusiawi yang bisa menyebabkan rasa pemusuhan dalam hati kita sudah tercabut sehingga hati kita mampu menebarkan rasa persaudaraan fillah. Artinya, mampu memandang musuh dan teman dalam porsi yang sama, sama-sama disayangai sebagaimana orang menyayangi saudara kandung sendiri. Itulah karakter surgawi yang digambarkan Alloh dalam firman-Nya: ”Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan”(QS.al-Hijr/47)
Jika orang berthoriqoh belum mampu mencapai hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada yang harus kita waspadai, barangkali di dalamnya masih terselip sifat hasud yang mematikan. Dari sifat hasud inilah yang akhirnya bercabang pinak menjadi kebiasaan-kebiasaan buruk yang bisa menyebabkan matahati kita menjadi buta dan mati. Wal Iyadzu Billah.
Ketika amaliah thoriqoh kita sudah menunjukkan tanda-tanda ada hasilnya, yakni hati kita sudah mulai ditumbuhi rasa cinta, terutama kepada guru-guru dan kepada sesama ikhwan. Untuk menguatkan pencapaian tersebut, maka ujian diadakan oleh Alloh. Sebagai tarbiyah azaliyah, kita dihadapkan dengan romantik fenomena yang terkadang tidak selalu menyenangkan hati kita. Alloh menegaskan sistem ujian ini dengan firman-Nya:”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? - Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.(QS.al-Ankabut/2-3).
Untuk efektifnya sistem tarbiyah Ilahiyah tersebut, maka tradisi ghosip mahal di kalangan kita itu memang harus ada. Namun demikian, jika kita tidak mampu menyikapi hal tersebut dengan arif, maka kita sendiri yang merugi, ndak pernah naik kelas tingkatan. Adapun para pelaku ghosip tersebut, kan itu saudara kita sendiri, seperti di dunia kalangan Maha Siswa itu lo, para senior kan mendapatkan kesempatan ‘melonco’ para uniornya. Meminjam istilah Gus Dur, gitu saja kok repot…….
Kalau ada pertanyaan: “Apakah orang yang suka menggosip itu tidak berdosa”. Jika hasil akhir dari perbuatan dosa tersebut berupa kebaikan, maka apa saja bentuknya berarti hakekatnya kebaikan, jika perbuatan tersebut mampu menjadikan orang menjadi baik, maka dia ikut mendapatkan bagian dari kebaikan tersebut. Seperti dokter itu lo, meski setiap hari pekerjaannya selalu menyakiti pasiennya dengan obat maupun injeksi, oleh karena tujuannya baik maka para Dokter itu mendapatkan penghargaan tinggi di masyarakat.
Untuk supaya kita selalu dapat menyikapi fonomena tersebut dengan pandangan positif, hal itu tentunya ada kunci rahasianya, yakni kita harus mampu selalu berkhusnudz-dzon kepada Alloh SWT. Maksudnya, apa saja yang sedang terjadi di hadapan kita, kita harus yakini bahwa itu merupakan kebaikan yang didatangkan Alloh untuk kita. Jika kita mengetrapkan perasaan seperti itu secara spontan belum mampu, maka fungsi khususi kita pergunakan. Dalam khususi itu perasaan yang tidak enak tersebut kita lebur dalam samudera rahasia kepedulian dan do’a-do’a guru Mursyid kita yang sudah kita yakini mampu mengobati penyakit hati kita. Kehilafan para ikhwan itu kita maafkan di hadapan Alloh serta kita mintakan ampunan kepada-Nya. Kita yakin bahwa mereka itu di akhirat nanti akan menjadi saudara kita yang abadi.
Itulah hakekat mujahadah di jalan Alloh. Hasil dari mujahadah tersebut, awalnya terkadang terjadi gejolak dalam dada kita, ada perasaan panas dingin yang membakar hamparan isi dada kita. Itulah bentuk proses pembakaran hijab yang menyelimuti langit dada seorang hamba yang sedang menempa jiwa di Kawa Candradimuka.
Ketika proses pembakaran itu menunjukan hasilnya, maka seketika hamparan dada kita menjadi lapang, karena saat itu nur Alloh telah didatangkan sehingga yang asalnya samar menjadi cetto welo-welo, yang asalnya tidak faham menjadi faham. Jika gejala ini sudah bisa kita rasakan, maka kita wajib bersyukur, karena itu merupakan pertanda bahwa perjalanan panjang dan melelahkan itu sudah menampakkan buahnya. Jika anda tahu rahasia ini maka anda akan yakin bahwa tradisi ghosip itu memang kita butuhkan dalam komunitas kita. Silahkan mencoba, menjadi tukang ghosip atau yang dighosipi, he he he.
Maaf ya teman-teman, barangkali saya ini Cuma ‘jarkoni’, bisa ujar tapi belum bisa ngelakoni. Tetapi ini adalah ilmu pengetahuan, jika kita jadikan tuntunan dan kita bersungguh-sungguh dalam mengetrapkan, insya Alloh pertolongan akan didatangkan. Sepanjang kesempatan masih terbuka, maka kita wajib menempa jiwa. Batasnya adalah pintu kematian, semoga kita menemukan kebahagian di sana. Amin Ya Rabbal Alamiin, (Malfiali).

diposkan oleh IDAROH SYU'BIYYAH SUKOHARJO @ 8/29/2010 02:58:00 PM 0 Komentar Link ke posting ini
0 Komentar:

Poskan Komentar

Silahkan Berkomentar Asal Jaga Kesopanan Religi

Berlangganan Poskan Komentar [Atom]
Link ke posting ini:

<$BlogBacklinkTitle$>
<$BlogBacklinkSnippet$>
<$I18NPostedByBacklinkAuthor$> @ <$BlogBacklinkDateTime$>

Sabtu, 12 Februari 2011

Keutamaan Majelis Dzikir

Senin, 03 Januari 2011
Keutamaan Majelis Dzikir
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw.bersabda :

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) قَالَ: رَسُولُ الل.صَ. : إنَّ اللهَ مَلآئِكَةً يَطًوفُونَ فِي الطُُّرُقِ يَلتَمِسُونَ أهْلِ الذّكْرِ, فَإذَا وَجَدُوا قـَوْمًا

يَذْكُرُونَ اللهَ تَناَدَوْا : هَلُمُّـوْا إلَى حَاجَتِكُمْ, فَيَحُفّـُونَهُمْ بِأجْنِحَتِهِمْ إلَى السَّمَاءِ, فَإذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوْا اِلَى السَّمَاءِ

فَيَسْألُهُمْ رَبُّـهُم ( وَهُوَ أعْلَمُ بِهِمْ ) مِنْ اَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَيْدٍ فِي الاَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ

وَيُهَلِّلُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ : هَلْ رَأوْنِي؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : لَوْ رَأوْنِي؟ فَيَقوُلُوْنَ : لَوْ رَأوْكَ كَانُوْا اَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً, وَ اَشَدَّ لَكَ

تَمْجِيْدًاوَاَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيْحًا, فَيَقُوْلُ : فَمَا يَسْألُنِى ؟ فَيَقوُلُوْنَ : يَسْألُوْنَكَ الجَنَّةَ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ :

كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لَوْ اَنَّهُمْ رَأوْهَا كَانُوْا اَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَ اَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَاَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. فَيَقُوْلُ :

فَمِمَّا يَتَعَوَّذُوْنَ ؟ فَيَقولُوْنَ : مِنَ النَّارِ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُلُوْنَ :

لَوْ رَأوْهَا كاَنُوْا اَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا, فَيَقُوْلُ : اُشْهِدُكُمْ اَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ, فَيَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِكَةِ :

فُلاَنٌ فَلَيْسَ مِنهُمْ, اِنَّمَا جَائَهُمْ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُ : هًمْ قَوْمٌ لاَ يَشْقَى جَلِيْسُهُمْ.


“Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang berkeling dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemukan sekolompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling menyeru: ‘Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan’. Lalu mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu telah berpisah (bubar dari majlis dzikir) maka para malaikat tersebut berpaling dan naik kelangit. Maka ber- tanyalah Allah swt. kepada mereka (padahal Dialah yang lebih mengetahui perihal mereka). Allah berfirman: ‘Darimana kalian semua’? Malaikat berkata: Kami datang dari sekelompok hamba-Mu dibumi. Mereka bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepada-Mu.

Allah berfirman; ‘Apakah mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkata: Tidak pernah! Allah berfirman; ‘Seandainya mereka pernah melihatKu’? Malaikat berkata; Andai mereka pernah melihat-Mu niscaya mereka akan lebih meningkatkan ibadahnya kepada-Mu, lebih bersemangat memuji-Mu dan lebih banyak bertasbih pada-Mu. Allah berfirman; ‘Lalu apa yang mereka pinta pada-Ku’? Malaikat berkata; Mereka minta sorga kepada-Mu.

Allah berfirman; ‘Apa mereka pernah melihat sorga’? Malaikat berkata; Tidak pernah! Allah berfirman; ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihatnya’? Malikat berkata; Andai mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan ber- tambah semangat terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman; ‘Dari hal apa mereka minta perlindungan’? Malaikat berkata; Dari api neraka. Allah berfirman; ‘Apa mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata; Tidak pernah!

Allah berfirman: ‘Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka’? Malaikat berkata; Kalau mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga menghindarkan diri darinya. Allah berfirman; ‘Aku persaksikan kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka’. Salah satu dari malaikat berkata; Disitu ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka, dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah dia akan diampuni juga?). Allah berfirman; ‘Mereka (termasuk seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama mereka tidak akan kecewa’ “.

 Dalam riwayat Muslim ada tambahan pada kalimat terakhir: ‘Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku beri permintaan mereka

Rabu, 22 Desember 2010

ASY-SYAIKHU FII ZAMAANIH

ASY-SYAIKHU FII ZAMAANIH

Seorang Guru Mursyid, dalam peran dan kiprahnya bagi ummat atau masyarakat, salah satunya adalah bahwa kehadirannya menjadi “jawaban” bagi setiap dan segenap pertanyaan permasalahan hidup “kekinian” pada zamannya. Bukan pada zaman sebelumnya ataupun pada zaman setelahnya. Rupanya, melalui Guru Mursyid inilah cara Allah SWT memberi karunia hidayah kepada siapa pun hamba-Nya, yang dikehendaki untuk menjadi orang baik dan selamat dunia akhirat.

Sebaik dan sesempurna bagaimanapun kebijakan seorang Guru Mursyid yang hidup pada zaman tertentu, belum tentu cocok untuk secara “mentah-mentah” diterapkan pada zaman setelahnya. Semangat, makna, nilai atau hikmah di sebalik kebijakan tersebutlah yang bisa dipetik, namun metode beserta tatacara lainnya tidaklah “applicable”. Karena hal beginilah maka kebijakan Guru Mursyid Penerus atau Pengganti, tidak mungkin sekedar “copy paste” dari Guru Mursyid sebelumnya. Guru Mursyid Penerus atau Pengganti niscaya punya “benang merah roso” yang tersendiri. Hal ini karena zaman sudah beda, ummat yang dihadapi juga beda, tantangan persoalan yang mesti dipecahkan juga beda, cara atau siasat dalam memecahkannya serta pendekatannya juga beda.

Salah satu contoh, Romo Kyai Sepuh, yakni As-Syeikh Muhammad ‘Oestman Al Ishaqi RA, pada masa ke-Mursyid-annya, sempat menyusun beberapa buah kitab yang isinya menjelaskan dan menuntun muridiin bagaimana kewajiban dan tatakrama Al Akhlaqul Karimah murid kepada Guru Mursyidnya. Salah satu kitab dimaksud ialah “Khulashoh Al Wafiyah”. Kitab tersebut kemudian dijadikan wadlifah istiqomah oleh para Imam Khususi untuk dibaca di depan para jamaah muridin saat setiap menjelang Dzikir Khususiyah.

Pada era (zaman) yang beda, Guru Mursyid Penerus, yakni Syaikhuna Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi RA sempat Dawuh. Dawuh Beliau lebih-kurang isinya sebagai berikut : Saya paling takut jika harus membicarakan atau menjelaskan tentang apa-apa yang menyangkut kewajiban serta tatakrama atau adab murid terhadap Guru. Kenapa demikian? Karena dalam hal ini saya berada pada posisi yang “mendapat bagian”. Bagaimana saya bisa atau mampu menjaga diri atau mengendalikan nafsu saya untuk tidak terjebak pada sifat basyariyah saya?

Selanjutnya Beliau RA menjelaskan : Modal utama bagi pribadi seorang murid di dalam bertarekat itu lebih terletak pada kejujuran diri dan kesungguhan. Jika seorang murid mampu untuk jujur dan bersungguh-sungguh, maka untuk menunaikan kewajiban serta memegang tatakrama atau adab, baik terhadap Guru maupun terhadap lain-lainnya itu akan menjadi hal yang bersifat otomatis. Ketaqwaan kepada Allah, perasaan “takut” kepada Guru Mursyidnya, perasaan “gundah gelisah” di saat di hadapan Gurunya, tatakrama dan seterusnya, itu akan muncul sebagai ekspresi dari dalam nurani diri sendiri. Tatakrama yang ternampakkan secara dhohir tersebut justru hanya sebagai salah satu dari “ciri penanda” atau sekaligus sebagai “alat pembeda” antara mana murid yang jujur diri dan bersungguh-sungguh dan mana murid yang tidak. Oleh karena itu maka rasanya tidaklah terlalu pas jika tatakrama atau adab murid dikemas menjadi kewajiban yang secara dogmatis diberlakukan atau diikatkan oleh Guru kepada murid-muridnya.

Karena itu pula, barangkali, di saat dimaturi untuk cetak ulang kitab “Khulashoh Al Wafiyah” tersebut, Beliau RA mengurungkan. Selanjutnya Beliau RA justru memasukkannya menjadi bagian dari juz-juz terakhir dalam kitab yang disusunnya. Al Muntakhobat, yang lima juz itu. Sebuah kitab dengan khazanah pembahasan ilmiyah yang lengkap dan tuntas, namun sekaligus tuntunan praktis bagi para pribadi yang bersungguh-sungguh ingin mencari dan meniti jalan kebenaran yang hakiki.

Demikianlah contohnya. Contoh untuk menegaskan pesan bahwa untuk zaman yang beda - oleh Guru yang beda - maka kebijakan “roso” dan metode juga pasti beda. Tentu, contoh di atas tidaklah dimaksudkan untuk disalahpahami sebagai “membandingkan” antara yang satu dengan lainnya. Kita telah sama-sama memahami dan menyadari bahwa perilaku “membandingkan” dan/atau “menyamakan/menganggap sama” Guru yang satu dengan lainnya merupakan perilaku haram.

Karenanya, totalisme dalam ber-Guru menjadi penting terutama bagi pribadi murid yang sempat mengalami hidup dan menjalani tarekat dalam 2 masa sehingga berguru kepada 2 orang Guru Mursyid. Sangatlah naïf apabila di antara mereka, misalnya, kemudian mengatakan : Dulu, biasanya Kyai A itu seperti ini, makanya kita mestinya begini. Lha sekarang Kyai B malah berubah seperti itu. Mestinya kita kan tidak begitu. Dan seterusnya.

(Semua yang benar dari Syaikhunal-Karim Romo KH Ahmad Asrori Al Ishaqi – Rodlia-Allaahu Anhu Wa Ardloohu Wa Nafa’anaa Bi Hii Wa Bi Uluumihii Fid-Daaroiin Aamiiin – dan yang salah dari pribadi)
Diposkan oleh Pingin Genah di 06.57
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
0 komentar:

Poskan Komentar

Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Pengikut
Arsip Blog

* ▼ 2010 (9)
o ▼ Desember (1)
+ ASY-SYAIKHU FII ZAMAANIH
o ► Oktober (1)
+ SEMOGA BERMANFAAT
o ► September (2)
+ Lebaran Kita ; Hari Raya Yang Mana?
+ Sajak D. Zawawi Imron : IBU
o ► Agustus (2)
+ Romadlon Rindu Beliau RA (2)
+ Romadlon Rindu Beliau RA (1)
o ► Juli (3)
+ DUA "MAHKOTA" MENYATU DALAM DUA FIGUR
+ JADWAL KEGIATAN HABIB UMAR HAMID AL JILANI RA DI D...
+ Teks Sambutan Ketua Umum Jamaah Al Khidmah Pada Ha...


Pingin Genah
Robbi Fanfa'naa Bi BarkatiHhim / WaHhdinal-Husnaa Bi HurmatiHhim / Wa Amitnaa Fii ThoriiqotiHhim / Wa Mu'aafaatin Minal-Fitani

Minggu, 09 Mei 2010

MENYATUKAN UMMAT LEWAT THARIQAH
Uswah khasanah


Kalau ada pertanyaan, faktor apa yang mempersatukan mereka, bahkan rela berdesak-desakan selama berjam-jam ? jawabannya ada dua, yaitu Thariqah dan sosok Kiyai Asrori sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.


Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.


Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.


Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.


Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.


Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.


Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.


Keturunan Rasulullah ke-38


Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.


Berikut silsilahnya :


KH. Ahmad Asrori Al_Ishaqi RA
Muhammad Utsman Al-Ishaqi RA.
Surati
Abdullah
Mbah Deso
Mbah Jarangan
Ki Ageng Mas
Ki Panembahan Bagus
Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana
Panembahan Agung Sido Mergi
Pangeran Kawis Guo
Fadlullah Sido Sunan Prapen
Ali Sumodiro
Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri
Maulana Ishaq
Ibrahim Al Akbar
Ali Nurul Alam
Barokat Zainul Alam
Jamaluddin Al Akbar Al Husain
Ahmad Syah Jalalul Amri
Abdullah Khan
Abdul Malik
Alawi
Muhammad Shohib Mirbath
Ali Kholi’ Qasam
Alawi Muhammad
Alawi
Ubaidillah
Ahmad Al Muhajir
Isa An Naqib Ar Rumi
Muhammad An Naqib
Ali Al Uraidli
Ja’far As Shodiq
Muhammad Al Baqir
Ali Zainal Abidin
Hussain Bin Ali
Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.


Bai'at Thoriqoh


Ulama' yang senyumnya membuat kerinduan ini menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli thariqah. Karena kesibukannya melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu khusus buat para tamu, yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jama’ah baru maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam pembaiatan, yaitu Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah, tingkat menengah dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi).


Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa khususi yang umumnya dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan.


Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan berbeda dengan thariqah atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika kebanyakan para mursyid setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah sehari-hari diserahkan kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing untuk pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah.


Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan, Radio Suara Tegal berada di Slawi, Radio El-Bayu di Gresik, dan Radio Citra Nusantara di Ponpes Al-Fithrah Surabaya.


Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan dakwahnya yang sangat khas dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak atau belum berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan baginya untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah di awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di Kota Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio ternama di Kota Pekalongan dan Batang.


Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama asal Pekalongan, Kiai Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik ketokohannya maupun kedalaman ilmunya.


Jama’ah Al Khidmah sebagai wadah


Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jama’ah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya murid yang berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.


Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembinaannya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah melaksanakan amalan amalan dari gurunya.


Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”. Organisasi ini resmi dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di Semarang Jawa Tengah, dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada orang tua dan guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam, Majelis Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis Memberi nama anak dan lain lain.


H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja dibentuk bukan karena latah apalagi berorientasi ke politik praktis, akan tetapi semata mata agar pembinaan jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun bisa menjadi anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti kegiatan kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari merupakan salah satu bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati oleh berbagai kalangan khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.


Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori, ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan sederhana ini dapat menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh bersama-sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya untuk bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak dilupakan ummat Islam.


Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam. sehingga banyak yang tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang cukup besar. Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut Yaman Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan, sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis ini digelar”, ujarnya usai acara.


Video KH. Ahmad Asrori Ra. dan Jamaah Al-Khidmah

Jumat, 19 Februari 2010



KH Asrori Al Ishaqi Wafat (Perginya Ulama Apolitis)
22-08-2009 23:09


SURABAYA - Keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU) berduka. Salah satu ulamanya yang bergiat di bidang thoriqoh, KH Asrori Al Ishaqi, Selasa (18/8) dinihari meninggal dunia. Dia dikenal sebagai pemimpin Pondok Assalafi Al Fithrah, di Jalan Kedinding Surabaya


”Beliau kiai karismatik dan istikamah menjaga amalan warga NU di bidang tasawwuf dengan bergiat di thoriqoh,” kata Rois Syuriah PWNU Jatim, KH Miftakhul Akhyar di Surabaya, kemarin.

Meninggalnya Kiai Asrori sungguh mengagetkan,mengingat usia kiai thoriqoh ini belumlah terlalu tua. Yang bersangkutan dipanggil Yang Maha Kuasa di usia 58 tahun. Kepergiaannya untuk menghadap Sang Khalik membuat ribuan jamaahnya merasakan duka mendalam dan meneteskan air mata. Saat dilangsungkan prosesi pemakaman di komplek pondoknya, umat Islam menyemut dan melantunkan kalimah thoyyibah.

Tak ketinggalan karangan duka cita dari banyak tokoh nasional, Jatim, dan Surabaya dikirimkan ke rumah duka. Di antaranya karangan bunga dari Presiden SBY, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bahrul Alam, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, Wakil Wali Kota Surabaya Arief Afandi, dan pejabat lainnya. Gubernur Soekarwo juga bertakziah ke rumah duka di kawasan Kedinding Surabaya.

Siapa KH Asrori Al Ishaqi? Yang bersangkutan dikenal sebagai kiai NU yang istikomah bergerak di bidang sosial kemasyarakatan terkait peran kiai melalui kanal thoriqoh. Kiai Asrori tak tergerus dalam gerakan kemasyarakatan di ranah politik praktis sebelum maupun pascareformasi.

Jamaah thoriqoh terus dibina dan digerakkan ke tataran umat dalam konteks memberikan bekal moral spiritual kepada umat Muhammad SAW. ”Fatwa dan pandangannya sangat dihormati serta dipatuhi umat. NU sangat kehilangan sepeninggal beliau. Dunia thoriqoh terus digeluti dan dijalankan dengan istikomah. Itu salah satu amalan penting NU dan menjadi pembeda NU dengan ormas Islam lainnya,” tambah Kiai Miftakhul.

Anak KH Utsman

Kiai Asrori adalah anak KH Utsman. Aktivitas thoriqoh dijalaninya sepeninggal ayahnya yang juga dikenal sebagai mursyid thoriqoh. Thoriqoh yang dipimpin Kiai Asrori tak terkait dengan kekuatan politik mana pun.

Seperti ditulis dalam disertasi (S3) Machmud Sujuthi (mantan Kepala Kanwil Depag Jatim) yang diterbitkan tahun 2001, pada buku berjudul ”Politik Tharekat”, disebutkan bahwa thoriqoh yang berpusat di Kedinding Surabaya di bawah pimpinan KH Utsman tak berafiliasi dengan kekuatan politik mana pun.

Dalam buku Machmud Sujuthi itu dikatakan bahwa setelah KH Mustain Romli menyatakan merapat dan mendukung Golkar pascapemilu 1971, terjadi pembelahan dunia thoriqoh di lingkungan NU. Ada jamaah thoriqoh Rejoso yang berpusat di Pondok Darul Ulum Rejoso Jombang, dengan tokoh utama KH Mustain Romli dan dekat dengan Golkar.

Di sisi lain, ada thoriqoh Cukir yang berpusat di Pondok Tebuireng Jombang di bawah pimpinan KH Adlan Ali yang lebih dekat kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Thoriqoh Kedinding—istilah di mana pondok KH Utsman dan KH Asrori berlokasi—berada di antara 2 titik thoriqoh yang berbau politik itu. Jamaah Kiai Asrori itu netral secara politik. Tak ada hubungan kultural dan struktural dengan partai mana pun.

”Amalan thoriqoh Kiai Asrori itu sanad-nya sampai Syech Abdul Qodir Jaelani,” jelas Kiai Miftakhul.
Meninggalnya Kiai Asrori merupakan kehilangan besar bagi jamaah thoriqoh di Indonesia dan mancanegara. Selain 1.800 santri yang menetap di Pondok Al Fithrah di Kedinding, hakikatnya Kiai Asrori memiliki jutaan umat dan jamaah setia di Indonesia dan banyak negara lain. Jamaah yang dipimpin Kiai Asrori tersebar hingga ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong, Australia, dan banyak negara lain.

Pada acara pemakaman kemarin, banyak di antara jamaah hanyut dalam suasana duka. Mereka melantunkan doa, tahlil, surat yasin, dan bacaan thoyyibah di masjid areal ponpes. Maklum, Kiai Asrori dikenal sebagai pimpinan Thoriqoh Qodiriyyah Wannaqsabandiyah Al Utsmaniyah.

Direktur Pendidikan Pondok Al Fithrah, Wisnubroto menyatakan, Kiai Asrori meninggalkan seorang istri, Hj Sulistyowati, dan 5 anak, yakni Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien, dan Siela Assabarina.


Kiai Asrori meninggal sekitar pukul 02.00. Sebelumnya, sejak 29 Juli sampai 16 Agustus 2009, sempat menjalani perawatan medis di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya. Kiai Asrori mengidap kanker dan komplikasi penyakit lainnya.
Di usia berapa Kiai Asrori meninggal dunia? Berdasar pengakuan salah seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, Kiai Asrori memiliki 3 paspor dengan tanggal lahir berbeda. Tapi, diperkirakan yang bersangkutan lahir pada 17 Agustus 1951.(G14-62)

Suara Merdeka/Antara

Jumat, 05 Februari 2010

SURABAYA - Keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU) berduka. Salah satu ulamanya yang bergiat di bidang thoriqoh, KH Asrori Al Ishaqi, Selasa (18/8/2009)

SURABAYA - Keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU) berduka. Salah satu ulamanya yang bergiat di bidang thoriqoh, KH Asrori Al Ishaqi, Selasa (18/8/2009) dinihari meninggal dunia. Dia dikenal sebagai pemimpin Pondok Assalafi Al Fithrah, di Jalan Kedinding Surabaya


”Beliau kiai karismatik dan istikamah menjaga amalan warga NU di bidang tasawwuf dengan bergiat di thoriqoh,” kata Rois Syuriah PWNU Jatim, KH Miftakhul Akhyar di Surabaya, kemarin.

Meninggalnya Kiai Asrori sungguh mengagetkan,mengingat usia kiai thoriqoh ini belumlah terlalu tua. Yang bersangkutan dipanggil Yang Maha Kuasa di usia 58 tahun. Kepergiaannya untuk menghadap Sang Khalik membuat ribuan jamaahnya merasakan duka mendalam dan meneteskan air mata. Saat dilangsungkan prosesi pemakaman di komplek pondoknya, umat Islam menyemut dan melantunkan kalimah thoyyibah.

Tak ketinggalan karangan duka cita dari banyak tokoh nasional, Jatim, dan Surabaya dikirimkan ke rumah duka. Di antaranya karangan bunga dari Presiden SBY, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bahrul Alam, Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, Wakil Wali Kota Surabaya Arief Afandi, dan pejabat lainnya. Gubernur Soekarwo juga bertakziah ke rumah duka di kawasan Kedinding Surabaya.

Siapa KH Asrori Al Ishaqi? Yang bersangkutan dikenal sebagai kiai NU yang istikomah bergerak di bidang sosial kemasyarakatan terkait peran kiai melalui kanal thoriqoh. Kiai Asrori tak tergerus dalam gerakan kemasyarakatan di ranah politik praktis sebelum maupun pascareformasi.

Jamaah thoriqoh terus dibina dan digerakkan ke tataran umat dalam konteks memberikan bekal moral spiritual kepada umat Muhammad SAW. ”Fatwa dan pandangannya sangat dihormati serta dipatuhi umat. NU sangat kehilangan sepeninggal beliau. Dunia thoriqoh terus digeluti dan dijalankan dengan istikomah. Itu salah satu amalan penting NU dan menjadi pembeda NU dengan ormas Islam lainnya,” tambah Kiai Miftakhul.

Anak KH Utsman

Kiai Asrori adalah anak KH Utsman. Aktivitas thoriqoh dijalaninya sepeninggal ayahnya yang juga dikenal sebagai mursyid thoriqoh. Thoriqoh yang dipimpin Kiai Asrori tak terkait dengan kekuatan politik mana pun.

Seperti ditulis dalam disertasi (S3) Machmud Sujuthi (mantan Kepala Kanwil Depag Jatim) yang diterbitkan tahun 2001, pada buku berjudul ”Politik Tharekat”, disebutkan bahwa thoriqoh yang berpusat di Kedinding Surabaya di bawah pimpinan KH Utsman tak berafiliasi dengan kekuatan politik mana pun.

Dalam buku Machmud Sujuthi itu dikatakan bahwa setelah KH Mustain Romli menyatakan merapat dan mendukung Golkar pascapemilu 1971, terjadi pembelahan dunia thoriqoh di lingkungan NU. Ada jamaah thoriqoh Rejoso yang berpusat di Pondok Darul Ulum Rejoso Jombang, dengan tokoh utama KH Mustain Romli dan dekat dengan Golkar.

Di sisi lain, ada thoriqoh Cukir yang berpusat di Pondok Tebuireng Jombang di bawah pimpinan KH Adlan Ali yang lebih dekat kepada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Thoriqoh Kedinding—istilah di mana pondok KH Utsman dan KH Asrori berlokasi—berada di antara 2 titik thoriqoh yang berbau politik itu. Jamaah Kiai Asrori itu netral secara politik. Tak ada hubungan kultural dan struktural dengan partai mana pun.

”Amalan thoriqoh Kiai Asrori itu sanad-nya sampai Syech Abdul Qodir Jaelani,” jelas Kiai Miftakhul.
Meninggalnya Kiai Asrori merupakan kehilangan besar bagi jamaah thoriqoh di Indonesia dan mancanegara. Selain 1.800 santri yang menetap di Pondok Al Fithrah di Kedinding, hakikatnya Kiai Asrori memiliki jutaan umat dan jamaah setia di Indonesia dan banyak negara lain. Jamaah yang dipimpin Kiai Asrori tersebar hingga ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Hong Kong, Australia, dan banyak negara lain.

Pada acara pemakaman kemarin, banyak di antara jamaah hanyut dalam suasana duka. Mereka melantunkan doa, tahlil, surat yasin, dan bacaan thoyyibah di masjid areal ponpes. Maklum, Kiai Asrori dikenal sebagai pimpinan Thoriqoh Qodiriyyah Wannaqsabandiyah Al Utsmaniyah.

Direktur Pendidikan Pondok Al Fithrah, Wisnubroto menyatakan, Kiai Asrori meninggalkan seorang istri, Hj Sulistyowati, dan 5 anak, yakni Siera Annadia, Sefira Assalafi, Ainul Yaqien, Nurul Yaqien, dan Siela Assabarina.


Kiai Asrori meninggal sekitar pukul 02.00. Sebelumnya, sejak 29 Juli sampai 16 Agustus 2009, sempat menjalani perawatan medis di Graha Amerta RSU dr Soetomo Surabaya. Kiai Asrori mengidap kanker dan komplikasi penyakit lainnya.
Di usia berapa Kiai Asrori meninggal dunia? Berdasar pengakuan salah seorang kerabat yang biasa mengurus paspor, Kiai Asrori memiliki 3 paspor dengan tanggal lahir berbeda. Tapi, diperkirakan yang bersangkutan lahir pada 17 Agustus 1951.(G14-62)

Suara Merdeka/Antara

BERITA LAINNYA
MENDUNG duka memayungi Pondok Pesantren (Ponpes) Assalafi Al Fithrah di Kedinding Lor, Surabaya. Sebab, Selasa dini hari (18/8) KH Asrori Al Ishaqi, pengasuh ponpes tersebut, meninggal dunia.


Kepergiannya tidak hanya meninggalkan duka bagi keluarga besar pondok di wilayah Kecamatan Kenjeran itu, tapi juga umat Islam dari berbagai pelosok tanah air. Terutama, Jatim.

Kabar meninggalnya Kiai Asrori tersiar begitu cepat. Sejak pagi buta, puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah terus mengalir mendatangi rumah duka di kawasan Jalan Tanah Merah VIII, Kedinding Lor. Mereka datang memenuhi masjid dan halaman pondok untuk bertakziah atas wafatnya Kiai Asrori yang meninggal pukul 02.00.

Jamaah tersebut tidak hanya datang dari daerah di Jawa Timur. Banyak pula jamaah yang datang dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan provinsi di luar Jawa. Bahkan, tidak sedikit jamaah yang datang dari Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Puluhan ribu jamaah itu larut membaca doa-doa, tahlil, dan surat Yasin. Bahkan, banyak di antara mereka yang tidak kuasa menahan air mata atas kepergian Kiai Asrori.

Sejumlah karangan bunga duka cita juga terlihat berderet di rumah duka. Di antaranya, karangan bunga dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gubernur Jatim Soekarwo, Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam, Kapolda Sumut Irjen Pol Badrodin Haiti. Karangan bunga juga datang dari jajaran muspida dan pejabat Pemkot Surabaya seperti Kapolwil Kombespol Ronny F. Sompie, Wali Kota Bambang D.H., dan Wawali Arif Afandi.

Jenazah almarhum dimakamkan di kompleks ponpes sekitar pukul 10.30. Almarhum meninggalkan seorang istri bernama Hj Sulistyowati dan lima anak (dua laki-laki dan tiga perempuan). "Beliau adalah guru kami. Santri dan masyarakat sangat merasa kehilangan," kata Wisnu Broto Heri Putranto, direktur pendidikan Ponpes Al-Fithrah.

Dia menceritakan, Kiai Asrori terkenal dengan kasih sayangnya, baik kepada santri maupun jamaah. "Sebelum meninggal, beliau sering keliling kampung untuk ngobrol dengan masyarakat, bertanya tentang keadaan mereka. Karena itu, masyarakat sangat terkesan dengan kasih sayang beliau," tutur Wisnu.

Semasa hidup, kata dia, Kiai Asrori sering berpesan agar menjaga hubungan antarsesama dan selalu melakukan silaturahmi. Dakwah Kiai Asrori juga sangat lembut sehingga diterima masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun luar negeri seperti Singapura, Australia, Malaysia, Brunei Darussalaman, Yaman, dan Arab Saudi.

Kiai Asrori meninggal karena sakit komplikasi dan deraan kanker sejak empat tahun lalu. Empat hari sebelum mengembuskan napas terakhir, dia dirawat di RS Darmo selama empat hari. Menurut Wisnu, tidak ada wasiat khusus dari Kiai Asrori. ''Mungkin, hanya keluarga yang tahu. Kalau sepengetahuan saya, tidak ada," jelas Wisnu.

Kepastian usia Kiai Asrori saat meninggal dunia kemarin sejauh ini masih simpang siur. Namun, beberapa kerabat dan keluarga ponpes menyebut bahwa Kiai Asrori lahir pada 17 Agustus 1951. Dengan demikian, kiai itu berpulang di usia 58 tahun.

Menurut Wisnu, Ponpes Assalafi Al Fithrah didirikan sekitar 1988 atau 1989. Luas pondok itu sekitar 2,5 hektare. Di ponpes tersebut, ada 2.000 santri putra-putri. Beberapa bulan lalu, sejumlah santri terserang flu yang diduga virus flu babi. Namun, setelah dirawat, kondisi mereka berangsur pulih.

Selain memimpin Ponpes Al Fithrah, Kiai Asrori merupakan penggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah besar yang sebagian anggotanya adalah pengamal Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah tersebut mendapat perhatian luas karena sifatnya inklusif, tidak memihak salah satu organisasi sosial mana pun.

Meski kerap dihadiri tokoh-tokoh ormas, politik, dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis. Karena itu, pelan tapi pasti, organisasi tersebut memiliki banyak pengikut. Diperkirakan, jumlah jamaah Al-Khidmah mencapai jutaan orang. Mereka tersebar luas di beberapa provinsi di Indonesia dan mancanegara.

"Kiai Asrori adalah ulama karismatik. Pengabdiannya kepada negara dan Umat muslim tidak diragukan lagi. Tarekat yang beliau pimpin bersifat apolitis. Beliau mengutamakan pembinaan kepada masyarakat lewat jalur kultural, sosial, dan keagamaan," papar Rais Syuriah PW NU Jatim KH Miftakhul Akhyar. (lum/hud)


Jawa Pos Metropolis



Copyright © 2009 Jama'ah Al Khidmah | Designed by Jama'ah Al Khidmah Web Crew with EMN





Copyright © 2009 Jama'ah Al Khidmah | Designed by Jama'ah Al Khidmah Web Crew with EMN

Minggu, 03 Januari 2010

HADROTUSY SYAIKH KH.AHMAD ASRORY AL ISHAQY RA


Ya Allah
Hadrotusy Syeikh Ahmad Asrory Al Ishaqi
Mursid Thoriqoh Qodiriyyah Wa Naqshabandiyyah


Kelurahan Kedinding Lor termasuk Kotamadya Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektare ini dilakukan pengembangan Pesantren Al Fitrah, diasuh Kiai Ahmad Asrori, Al Ishaqi putra Kiai Utsman Al-Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.
Kiai Utsman adalah murid Kiai Ramli Tamim. Ia dibaiat sebagai mursyid bersama Kiai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri Mojosari Mojokerto.
Kiai Utsman mengembangkan tarekat di Kedinding Lor Surabaya. Penerusnya Kiai Ahmad Asrori. Dikembangkan kegiatan khushushiyah setiap Ahad pertama bulan Hijriyah di Jatipurwo dan Ahad kedua di Kedinding Lor. Pengikut kegiatan bisa mencapai rata-rata 4.000 orang (lebih banyak dari Rejoso dan Cukir ang jumlah rata-rata 1.000 orang).Dalam perkembangannya penerus Tarekat Kedinding Lor, Kiai Hilmi Ahmad, mengemukakan sikap pendirinya, bahwa tarekatnya netral, tidak memihak salah satu organisasi sosial politik manapun. Alasannya, kegiatan tarekat untuk ibadah, dzikir kepada Allah, taqarrub kepada Allah.
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
QS. Al Mujaadalah {58] : 11

SILSILAH THORIQOH QODIRIYYAH WA NAQSHABANDIYYAH

Secara bersinambung

41. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Ahmad Asrori Al Ishaqi
Bertalqin dan berbai’at dari :
40. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Muhammad ‘Utsman bin Nadiy Al Ishaqi
Bertalqin dan berbai’at dari :
39. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abi Ishamuddiyn Muhammad Romliy At Tamimimiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
38. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Kholil Rejoso
Bertalqin dan berbai’at dari :
37. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Hasbullaah Madura
Bertalqin dan berbai’at dari :
36. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Ahmad Khothib As Sambasiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
35. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
34. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Murod
Bertalqin dan berbai’at dari :
33. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Fattaah
Bertalqin dan berbai’at dari :
32. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Kamaluddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
31. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Utsman
Bertalqin dan berbai’at dari :
30. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Abdur Rohiym
Bertalqin dan berbai’at dari :
29. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Bakar
Bertalqin dan berbai’at dari :
28. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Yahya
Bertalqin dan berbai’at dari :
27. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Chisamuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
26. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Waliyuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
25. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Nuruddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
24. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Zainuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
23. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Syarofuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
22. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Syamsuddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
21. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Muhammad Al Hataki
Bertalqin dan berbai’at dari :
20. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul ‘Aziyz
Bertalqin dan berbai’at dari :
19. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Qodir Al Jiylani
Bertalqin dan berbai’at dari :
18. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Sa’id Al Mubarrok
Bertalqin dan berbai’at dari :
17. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Hasan Ali Al Hakariy
Bertalqin dan berbai’at dari :
16. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abul Faraj Al Thurthusiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
15. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Wahid Al Tamimi
Bertalqin dan berbai’at dari :
14. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abu Bakar As Shibliy
Bertalqin dan berbai’at dari :
13. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abdul Qosim Junaiyd Al Baqhdadiy
Bertalqin dan berbai’at dari :
12. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Sari As Siqthi
Bertalqin dan berbai’at dari :
11. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Al Ma’ruf Al Karkhi
Bertalqin dan berbai’at dari :
10. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Abul Hasan Ali Ridlo
Bertalqin dan berbai’at dari :
9. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Musa Kadziym
Bertalqin dan berbai’at dari :
8. Al Arif BillaaHh Hadrotusy-syaikh Ja’far As Shodiyq
Bertalqin dan berbai’at dari :
7. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Imam Muhammad Baqir
Bertalqin dan berbai’at dari :
6. Al Arif Billaah Hadrotusy-syaikh Zainul Abiddiyn
Bertalqin dan berbai’at dari :
5. Al Arif Billaah Sayyidina Husain RodliyallaaHhu ‘anhu
Bertalqin dan berbai’at dari :
4. Al Arif Billaah Sayyidina Ali Karromallaahu Wajhahu
Bertalqin dan berbai’at dari :
Sayyidil Mursaliyn wa Habiybi Robbil ‘aalamiyn, Rosul utusan Allaah kepada sekalian kepada Makhluk, yakni Sayyidina Muhammad SAW
3. RosuulullaaHh Muhammad SAW
Bertalqin dan berbai’at dari :
2. Sayyidina Jibril Alaihis-salam
Bertalqin dan berbai’at dari :
1. Allah SWT


dikutib sesuai aslinya dari Kitab

Al Khulashotul wa fiy-yah, fil Aadabi wa Kaifiy-yatidz-dzikri indas-saadatil Qodiyiyyah Wan naqsyabandiyyah Al Utsmaniyyah


Diposkan oleh NIZAM di 21:32
Label: KH AHMAD ASRORI AL ISHAQI
0 komentar:
Poskan Komentar